Rabu, 10 Oktober 2012
STUDI KASUS PEMBAKARAN MASJID
1
KOMUNIKASI
MINDLESSNESS
DALAM KONFLIK ANTARBUDAYA:STUDI KASUS PEMBAKARAN MASJIDLEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA (LDII)DI DESA TLOGOWERO, KECAMATAN BANSARI,KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAHSUMMARY SKRIPSIDisusun untuk memenuhi persyaratan Wisuda Strata 1Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas DiponegoroPenyusunNama : Syaroful UmamNIM : D2C004206JURUSAN ILMU KOMUNIKASIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG2011
2
PENDAHULUAN
Ketika agama menjadi persoalan keyakinan yang sangat fundamental, masalahtoleransi dan pemahaman atas posisi masing-masing penganut menjadi kuncipenting bagi keselarasan dan keharmonisan kehidupan beragama. Apalagi, dalamberbagai aspek kehidupan di negara Indonesia, sudah sejak awal telah terlahirsebagai bangsa yang sarat dengan kemajemukan budaya, pluralitas aliran agama,keanekaragaman ajaran agama dan warna teologi sebagai penyelaras hubunganantara umat dengan Tuhannya. Pada dasarnya, wacana agama yang pluralis,toleran, dan inklusif merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran agama itusendiri. Sebab, pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama, dan semangattoleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan dan
Sunatulloh
yang tidak bisadiubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi.Konsekuensi dari kemajemukan ini akan melahirkan sensitivitas, tak terkecuali dalam kehidupan beragama Islam. Perbedaan kerap menjadi pemantik konflik-konflik horizontal, jika tidak dikelola sebagaimana mestinya.Kehadiran sejumlah aliran dan keyakinan yang berbeda dengan mayoritasdari keumumannya, menyebabkan munculnya pernak-pernik kegelisahan dikalangan sebagian masyarakat. Bila keragaman aliran agama ini semakinmenunjukkan identitas yang berbeda, akhirnya yang akan timbul adalah konflik horizontal antar sesama.Pada Minggu, 6 Desember 2009, terjadi ironi salah satu masjid alirankelompok tertentu dibakar massa. Masjid aliran Lembaga Dakwah IslamIndonesia (LDII) dirusak dan dibakar oleh warga Desa Tlogowero yang jumlahnya mencapai 115 orang. Peristiwa ini terjadi di Desa Tlogowero,Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Selain menimbulkankehancuran fisik bangunan masjid beserta perlengkapan ibadah yang ada didalamnya (termasuk ada beberapa lembar Al Qur’an yang terbakar), peristiwa itu juga menimbulkan dampak psikologis yang sangat buruk bagi sebagian wargasetempat yang menjadi anggota LDII. Mereka sering menerima ancaman danintimidasi dari para pelaku perusakan
3
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=36165&Itemid=47, diunduh 1 Januari 2010, pukul 22.10 WIB.]Pembakaran tersebut dilandasi oleh isu-isu minor yang melekat dalam tubuhLDII itu sendiri. Dua isu utama yang sangat melekat adalah isu ”Takfir” daneksklusivitas masjid LDII. Takfir adalah mengkafirkan orang yang tidak berbai`atkepada imam mereka. Secara psikologis, mereka ingin menanamkan rasa banggadan ekslusivisme tertentu kepada anggotanya dengan memberi label muslimkepada kelompok mereka dan label non muslim kepada selain mereka (diluarkelompok). Secara otomatis pula, setiap anggotanya tidak dibenarkan kawindengan non anggota, karena menurut mereka, orang yang bukan anggota bukanmuslim. Begitu juga dalam masalah shalat kelompok, mereka tidak akan mau jadimakmum di belakang orang yang bukan anggota kelompok mereka.Sedangkan isu eksklusivitas LDII, terutama dalam Sholat Jum’at, hal inidikarenakan belum dilibatkannya ustadz dan orang-orang non LDII dalam sholatJum’at (baik sebagai
khatib
,
imam
, maupun
makmum
), yang semakin menegaskanisu-isu penyimpangan ajaran LDII. Hal ini juga berkaitan erat denganeksklusivitas anggota di dalam LDII terhadap orang-orang di luar LDII (Setiawan,Habib, dkk, 2008: 14).Permasalahan yang menarik untuk dikaji adalah Bagaimanakah pengalamanberkomunikasi orang-orang yang terlibat dalam konflik pembakaran Masjid LDIIdi Tlogowero? Bagaimanakah prasangka, stereotip
serta dikotomi
in group danout group
dipahami sebagai kendala komunikasi antarbudaya (
communicationinhibitors
) yang berdampak pada terciptanya komunikasi yang
mindlessness
? Hal-hal apa sajakah yang bisa memberi kontribusi bagi terciptanya komunikasi yang
mindful
?Penelitian ini diharapkan bisa mendeskripsikan pengalaman berkomunikasiorang-orang yang terlibat dalam konflik pembakaran Masjid LDII di Tlogowero;mendeskripsikan aspek-aspek yang menciptakan komunikasi yang
mindlessness;
serta mendeskripsikan hal-hal yang bisa memberi kontribusi bagi terciptanyakomunikasi yang
mindful
.
4
BATANG TUBUH
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode studi kasus(Yin, 2002: 18), serta menggunakan teknik analisis logika penjodohan poladengan menggunakan dua strategi umum, yakni proposisi (perilaku disfungsional,sikap terbuka, dan relasi Aku-Engkau) serta kerangka deskriptif (stereotip,prasangka, dikotomi
in group
dan
out group
, konflik, dan mediasi).Menurut Toomey (1999: 161), stereotip diartikan sebagai penilaian secaraberlebihan (
overgeneralization
) tentang identitas suatu kelompok tanpa adanyausaha-usaha untuk memahami identitas kelompok tersebut dari penilaian berbagaipihak. Sedangkan prasangka merupakan kondisi seseorang yang menilai sesuatuatau orang lain hanya berdasarkan pada pemikiran yang prematur sehinggacenderung mengarah pada perilaku buruk. Ketika masyarakat mendengar kataLDII, maka kesan yang timbul adalah LDII merupakan sekumpulan orang-orangyang eksklusif, introvert, serta menajiskan orang lain di luar kelompok LDII.Kesan buruk itulah yang kemudian menjadi stereotip dan prasangka buruk.Padahal, belum tentu penilaian tersebut sesuai dengan kondisi LDII sebenarnya.Dalam konteks komunikasi, maka stereotip dan prasangka menjadi penghambatterwujudnya tujuan komunikasi yang efektif, yaitu untuk mengurangi perasaanketidakpastian.Menurut Samovar dkk (1981: 126), dalam Rahardjo (2005: 62), mengatakanbahwa stereotip dan prasangka akan mempengaruhi jalannya komunikasi denganberbagai cara, diantaranya:
•
Stereotip dan prasangka akan menjadi penyebab tidak berlangsungnyakontak komunikasi. Bila kita mempunyai stereotip dan prasangka negatif,maka kita akan memilih untuk bertempat tinggal dan bekerja dalam latar(
setting
) yang meminimalkan kesempatan kontak dengan orang darikelompok yang tidak disukai. Dalam hal ini, masyarakat dan warga LDIIsaling melakukan penghindaran komunikasi atau
communicationavoidance.
5
•
Bila stereotip dan prasangka berlangsung sangat intensif, maka orangyang berprasangka akan terlibat hal-hal diskriminatif terhadap kelompok yang tidak disukai. Dan kondisi seperti ini akan sangat mudah mengarahpada konfrontasi dan konflik terbuka. Peristiwa pembakaran masjid LDIIoleh warga Tlogowero bisa dijadikan sebagai bentuk konfrontasi dankonflik terbuka.Stereotip dan prasangka erat kaitannya dengan perasaan ketidakpastian danambiguitas yang menjadi karakteristik interaksi komunikasi antarbudaya.
Toomey(1999: 164), menambahkan, stereotip dan prasangka yang berkembang sangat intensif akan mengarah pada tindakan diskriminasi dan konflik terbuka. Hal inidikarenakan diskriminasi memuat berbagai perilaku melawan dan menggangguanggota-anggota di luar kelompok mereka. Diskriminasi tentunya berawal dari pemikiran dan prasangka buruk terhadap kelompok lain. Dalam hal ini, peristiwa pembakaran Masjid LDII merupakan salah satu contoh diskriminasi yang diawalioleh stereotip dan prasangka.
Penelitian ini merujuk pada pemikiran Martin Buber dengan ”EtikaDialogis”-nya. Buber memilah suatu hubungan ke dalam 2 tipe relasi, yaitu:
I-It (Aku-Itu)
dan
I-Thou (Aku-Engkau).
Dalam hubungan Aku-Itu, orang laindianggap sebagai objek benda yang digunakan, sebuah hal yang dimanipulasikan.Sedangkan dalam hubungan Aku-Engkau, kita menghormati orang lain sebagaisubjek komunikasi. Kita melihat orang lain diciptakan dalam citra Tuhan danmemutuskan untuk memperlakukannya dengan sangat toleran sebagai pihak yangberharga dan patut untuk dihargai dan dihormati (Rahardjo, 2005: 63).Penelitian ini juga merujuk pada pemikiran Gudykunst tentang TeoriPengurangan Tingkat Ketidakpastian (
Uncertainly Reduction Theory
), dimanasetiap orang berkomunikasi untuk mendapatkan kepastian. Orang-orang yangterlibat dalam interaksi antarbudaya memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggiyang membuat kedua belah pihak kurang memiliki informasi satu sama lain.Tujuan komunikasi antarbudaya yang efektif dapat dicapai dengan mengurangikecemasan, mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian.
6
Ketidakpastian akan situasi dan budaya berbeda yang dimiliki seseorangsangat menghambat tercapainya komunikasi efektif. Dalam suatu interaksisangatlah penting mengetahui bagaimana orang lain bertingkah laku sebagai tandabahwa ia merespon kita. Selain itu, sangat penting juga menjelaskan mengapaorang-orang bertingkah laku seperti yang ia tunjukkan. Semuanya bisa kitamengerti apabila kita mempunyai pengetahuan tentang orang yang berinteraksidengan kita dengan cara mengumpulkan informasi mengenai mereka.Pengurangan tingkat ketidakpastian tersebut dapat dilakukan juga apabila masing-masing pihak memiliki keterbukaan untuk berbagi informasi dan pengalamanmereka.Selain meruju pada dua teori di atas, penelitian ini juga menggunakan padaTeori Segitiga Konflik dari Galtung. Menurut Galtung dalam Hugh, Oliver danTom (2002: 20), menawarkan model konflik yang berpengaruh, yang meliputikonflik yang simetris ataupun konflik yang tidak simetris. Galtung menambahkanbahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi, sikap danperilaku pada puncak-puncaknya. Lebih lanjut dapat dilihat dalam segitiga dibawah ini:kontradiksiSikap PerilakuGambar di atas menunjukkan bahwa kontradiksi yang merujuk pada dasarsituasi konflik, yang termasuk ”ketidakcocokan tujuan” yang dirasakan olehpihak-pihak yang bertikai yang disebabkan oleh apa yang dinamakan sebagai”ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial”. Dalam sebuah konflik yang tidak simetris, kontradiksi ditemukan oleh pihak-pihak yang bertikai,hubungan mereka dan benturan kepentingan inheren antara mereka yang salingberhubungan. Sikap yang dimaksud termasuk persepsi pihak-pihak yang bertikaidan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri. Sikap inidapat positif atau negatif; tetapi di dalam suasana konflik, pihak-pihak yang
7
bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang saling merendahkan satu samalain, dan sikap ini seringkali dipengaruhi oleh emosi seperti ketakutan,kemarahan, kepahitan, dan kebencian yang melekat dalam diri masing-masingpihak, baik itu dari masyarakat maupun warga LDII.Data temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku disfungsional(stereotip, prasangka, dikotomi
in group
dan
out group
), masih ada. Temuanpenelitian ini juga menunjukkan bahwa proses mediasi berlangsung tidak mudah.Tetapi, dengan pertimbangan dan saran berbagai pihak, akhirnya kedua belahpihak menerima hasil-hasil kesepakatan demi kemaslahatan umat yang lebihbesar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa stereotip, prasangka, dikotomi in groupout group, merupakan perilaku disfungsional dalam tataran komunikasi
mindlessness
yang berpotensi besar menyulut terbakarnya api konflik antarbudaya. Selain itu, sikap yang terbuka dan inklusif sangat penting dalammemahami pluralitas dan keberagaman. Akhirnya, komunikasi Aku-Engkaumerupakan jenis relasi komunikasi yang ideal.Komunikasi yang ideal adalah komunikasi dalam tataran Aku-Engkau.Sebab, dalam hubungan ini, orang lain diterima, diakui dan diperlakukan sebagaipribadi yang memiliki ruang gerak untuk menjadi dirinya sendiri. Dengandemikian, konflik dan kebencian karena perbedaan latar belakang tidak perlu ada jika kita bersedia menjalin komunikasi yang menjadikan orang lain sebagaisubjek. Relasi Aku-Engkau bisa dijadikan titik pijak bagi masyarakat dan wargaLDII untuk saling menghargai perbedaan, karena tidak ada satupun manusia yangatau pihak masyarakat merasa unggul terhadap orang lain. Begitupun sebaliknya,baik masyarakat maupun warga LDII tidak perlu merasa menjadi pihak yangminor dan terpinggirkan.
8
PENUTUP
Terkait dengan proposisi, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya,stereotip, prasangka, serta dikotomi
in group
dan
out group
di masing-masingpihak (warga LDII dan warga di luar LDII), merupakan perilaku disfungsionaldalam tataran komunikasi
mindlessness
yang berpotensi besar menyulutterbakarnya api konflik antar budaya. Stereotip dan prasangka yang ada berkaitanerat dengan isu-isu minor tentang identitas suatu kelompok tanpa adanya usaha-usaha untuk memahami identitas kelompok tersebut dari penilaian berbagai pihak.Ketika masyarakat mendengar kata LDII, maka kesan yang timbul adalah LDIImerupakan sekumpulan orang-orang yang eksklusif, introvert, serta menajiskanorang lain di luar kelompok LDII. Kesan buruk itulah yang kemudian menjadistereotip dan prasangka buruk. Padahal, belum tentu penilaian tersebut sesuaidengan kondisi LDII sebenarnya. Dalam konteks komunikasi, stereotip danprasangka menjadi penghambat komunikasi.Konsekuensi logis dari isu dan stereotip, menyebabkan tidak berlangsungnya kontak komunikasi serta meminimalkan kesempatan kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai (
in group
nya lebih menonjolketimbang
out group
nya).Sikap yang terbuka dan inklusif (
open-mindedness
) sangat penting dalammemahami pluralitas dan keberagaman, terutama dalam menciptakan komunikasiyang efektif. Sebaliknya, sikap yang tertutup akan menghambat tercapainyakomunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan sikap yang tertutup secara kakuakan tetap mempertahankan dan memegang teguh sistem kepercayaannya tanpaberusaha untuk mengetahui sistem kepercayaan orang lainRelasi komunikasi Aku-Engkau merupakan jenis relasi komunikasi yangideal. Sebab, dalam hubungan ini, orang lain diterima, diakui dan diperlakukansebagai pribadi yang memiliki ruang gerak untuk menjadi dirinya sendiri. Dengandemikian, konflik dan kebencian karena perbedaan latar belakang dapatdiminimalisir jika kita bersedia menjalin komunikasi yang menjadikan orang lainsebagai subjek.
9
Penelitian ini memiliki 3 implikasi, yakni:1.
Implikasi teoritis: bangunan teori tentang komunikasi yang
mindless,
seperti Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpastian dari Gudykunst sertaTeori “Etika Dialogis” dari Martin Buber, masih sebatas menawarkangagasan yang berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi, sepertipengetahuan, motivasi, dan kecakapan komunikasi. Berdasarkan padatemuan penelitian, maka perlu diperluas dengan memasukkan faktor-faktorlain, seperti faktor rendahnya tingkat pendidikan, penghindarankomunikasi (
communication avoidance
) dalam bentuk jaga jarak dan lebihmemilih untuk bersikap menutup diri dari kelompok lain, serta kurangnyapemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan nilai-nilai budaya.Dalam konteks yang lain, hasil studi ini dapat ditindak lanjuti dengan studiyang lain, misalnya dengan
genre
paradigma kritikal yang mencobamelihat jalinan relasi-relasi kekuasaan diantara bagian-bagian kelompok masyarakat yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya.2.
Implikasi praktisKepada lembaga pemegang wewenang di masing-masing pihak,seyogianya secara berkelanjutan tetap melakukan pendidikan pembelajarantentang pentingnya saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama. Tentunya hal ini menuntut kerja sama dengan forum kerukunanantar umat beragama, ataupun dengan organisasi-organisasi agama yanglain.3.
Implikasi sosialBerdasar pada temuan penelitian, kedua belah pihak (warga Tlogowerodan pengikut LDII di Tlogowero), seyogianya mampu meminimalisirstereotip, prasangka, serta dikotomi
in group
-
out group
, dan secara tuluslebih bersikap terbuka, serta dapat menerapkan relasi Aku-Engkau. Prosesuntuk menciptakan kehidupan yang aman dan damai tentunyamembutuhkan proses yang panjang. Tetapi peneliti percaya bahwa keduabelah pihak juga mampu menerapkan proses tersebut.
10
DAFTAR PUSTAKABuku:
Gudykunst, William B. (2005).
Theorizing about Intercultural Communication.
California, USA: Sage Publications.Hugh, Oliver dan Tom. (2002).
Resolusi Damai Konflik Kontemporer.
Jakarta:Radja Grafindo.Rahardjo, Turnomo. (2005).
Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness Dalam Komunikasi Antaretnis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Setiawan, Habib, dkk. (2008).
After New Paradigm: Catatan Ulama Tentang Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Jakarta: Pusat Studi IslamMadani Institute.Toomey, Stella Ting. (1999).
Communicating Across Cultures.
New York, USA:The Guilford Press.
Yin, Robert K. (1996).
Studi Kasus: Desain dan Metode
. Jakarta: Rajawali Press.
Situs World Wide Web:
Wawasan digital
. (2010). Dalam
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=36165&Itemid=47
. Diunduh pada 1 Januari 2010, pukul 22.10 WIB.
LDII Tak Mau Pindah Masjid.
(2010). Dalam
http://www.voa-islam.net/news/indonesia/2009/12/17/2126/tak-mau-pindahmasjid-ldii-di-temanggung-dirusak-warga/
. Diunduh pada 1 Januari 2010, pukul 22.10WIB.
Profil Kabupaten Temanggung.
(2010). Dalam
http://www.temanggungkab.go.id/profil.php?mnid=26.
Diunduh pada 1Januari 2011, pukul 22.10 WIB.
Visi dan Misi LDII.
(2010). Dalam
http://ldii.info/visi-dan-misi-ldii.html.
Diunduhpada 1 Januari 2011, pukul 22.10 WIB.
11
JUDUL : KOMUNIKASI
MINDLESSNESS
DALAM KONFLIK ANTARBUDAYA:STUDI KASUS PEMBAKARAN MASJIDLEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA (LDII)DI DESA TLOGOWERO, KECAMATAN BANSARI,KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAHNAMA : SYAROFUL UMAMNIM : D2C 004 206ABSTRAK
Penelitian ini berawal karena kurangnya pemahaman dan kurangnya penghargaanterhadap perbedaan nilai-nilai budaya antara masyarakat Tlogowero dan wargaLDII di Tlogowero. Hal ini menimbulkan stereotip, prasangka, dan dikotomi
ingroup-out group
. Stereotip dan prasangka yang berkembang terkait dengan isuminor tentang eksklusivitas masjid LDII serta isu pentakfiran terhadap orang-orang di luar kelompok LDII. Realitas empirik dari komunikasi
mindlessness
adalah pembakaran masjid LDII sebagai titik kulminasi konflik. Penelitian inibertujuan mendeskripsikan pengalaman komunikasi orang-orang yang terlibatdalam konflik, aspek-aspek yang menciptakan komunikasi
mindlessness
, sertahal-hal yang menciptakan komunikasi
mindfull
. Penelitian ini menggunakan TeoriEtika Dialogis, Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpastian, serta Teori SegitigaKonflik. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif, metodenya studi kasusdeskriptif dengan teknik analisis logika penjodohan pola melalui dua strategiumum, yakni proposisi (perilaku disfungsional, sikap terbuka, dan relasi Aku-Engkau) serta kerangka deskriptif (stereotip, prasangka, dikotomi
in group
dan
out group
, konflik, dan mediasi).Data temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku disfungsional(stereotip, prasangka, dikotomi
in group
dan
out group
), masih ada. Temuanpenelitian ini juga menunjukkan bahwa proses mediasi berlangsung tidak mudah.Tetapi, dengan pertimbangan dan saran berbagai pihak, akhirnya kedua belahpihak menerima hasil-hasil kesepakatan demi kemaslahatan umat yang lebihbesar. Penelitian ini menyimpulkan bahwa stereotip, prasangka, dikotomi in groupout group, merupakan perilaku disfungsional dalam tataran komunikasi
mindlessness
yang berpotensi besar menyulut terbakarnya api konflik antarbudaya. Selain itu, sikap yang terbuka dan inklusif sangat penting dalammemahami pluralitas dan keberagaman. Akhirnya, komunikasi Aku-Engkaumerupakan jenis relasi komunikasi yang ideal.Kata Kunci: Stereotip, Prasangka, Dikotomi
in group
dan
out group
, Konflik,serta Mediasi.
12
TITLE : MINDLESSNESS COMMUNICATION WITHININTERCULTURAL CONFLICTS: A CASE STUDY OF ARSONCASE OF LEMBAGA DAKWAH ISLAM INDONESIA (LDII)MOSQUE IN TLOGOWERO VILLAGE,BANSARI SUB-DISTRICT, TEMANGGUNG DISTRICT,CENTRAL JAVANAME : SYAROFUL UMAMNIM : D2C 004 206ABSTRACT
This research is based on a lack of understanding and lack of respect for culturalvalues differences between Tlogowero society and the LDII members inTlogowero. This gives rise to stereotypes, prejudices, and the dichotomy
in group-out group
. Stereotypes and prejudices where related to exclusivity issuess of LDIImosques and how they label society outside LDII as infidels. The empirical realityfrom mindlessness communication was arson case of LDII mosque as the conflictculmination point. This research aims to describe communication experience bythe individual’s involved in the conflict, creating aspects of mindlessnesscommunication, and points to form mindfull communication. This research usesThe Dialogical Ethics Theory, The Uncertainty Reduction Theory, and TheTriangular Theory of Conflicts. This research approach is qualitative anddescriptive case study method with the logic of pairing pattern analysis techniquesthrough two general strategies: proposition (dysfunctional behavior, openness-inclusive attitude, and I-Thou relationship) and descriptive terms (stereotypes,prejudices, the dichotomy
in group
and
out group
, conflict, and mediation).The finding of research showed that the dysfunctional behaviors(stereotypes, prejudices, the dichotomy
in group
and
out group
), still exists. Thefindings of research also suggests that mediation takes place is not easy. However,with consideration and advice from various parties, eventually both parties acceptthe results of the agreement for broader advantages. The research concluded thatthe stereotypes, prejudices, the dichotomy
in group
and
out group
, is adysfunctional behavior at the level of mindlessness communication which lead totrigger a more severe intercultural conflict. In addition, an open and inclusiveattitude is very important in understanding the plurality and diversity. Finally, theI-Thou relationship is a kind of ideal communication.Key words: Stereotypes, prejudices, the dichotomy
in group
and
out group,
conflict, and mediation.
'
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar